Minggu, 02 Oktober 2011

jakarta memikat banyak orang: siap mengadu nasib di jakarta

jakarta memikat banyak orang: siap mengadu nasib di jakarta: Ibu Kota Selalu Terbuka, Asalkan Tak Modal Nekat Awaludin Sabtu, 17 September 2011 - 09:13 wib BANYAKNYA warga pendatang baru di Jakarta ...

siap mengadu nasib di jakarta

Ibu Kota Selalu Terbuka, Asalkan Tak Modal Nekat
Awaludin
Sabtu, 17 September 2011 - 09:13 wib
BANYAKNYA warga pendatang baru di Jakarta yang membawa sanak keluarga serta sahabat untuk mengadu nasib, semakin memsempit dan mengundang masalah sosial baru di kota terpadat se-Nusantara ini.

Menurut Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR) Lutfi Hakim, sebagai warga asli Jakarta dirinya tidak keberatan akan datangnya warga pendatang baru ke Ibu Kota. Namun, warga pendatang yang ingin mengadu nasib di Jakarta harus ada kemampuan yang lebih dan bisa bersaing dengan warga Jakarta.

"Kalau mereka membawa saudara atau teman ke Jakarta harus punya keterampilan itu enggak ada masalah. Sangat disayangakan apabila dia tidak bisa apa-apa dan itu akan menjadi urusan sosial baru yang akhirnya menjadi pengemis, pengamen, dan jualan di pinggir jalan," ucapnya kepada okezone, belum lama ini.

Bermunculannya lapak-lapak di bantaran kali serta pinggiran rel kereta api membuat ibu kota semakin semeraut, kotor dan kumuh. Seharusnya, kata dia, pemerintah bekerja dari pertama lapak yang ingin dibangun. "Kalau mereka tidak sanggup tinggal dikontrakan, paling membangun rumah dibantaran kali atau di pinggiran rel kereta api. Seharusnya, dari pertama ada lapak-lapak baru muncul satu atau dua lapak langsung dibenahi oleh lurah atau kecamatan setempat," tegas Lutfi.

Pemerintah, kata dia, sangat lemah dalam menanggani masalah sosial ini yang sudah menjadi persoalan klise dari tahun ke tahun. "Seharusnya pemerintah memang harus digalakan menyangkut masalah ini. Kelemahannya pemerintah adalah masalah satu baru mancul dicuekin dan kalau masalah yang lain membesar baru bikin anggaran," ungkapnya.

Masalah yang ada di Jakarta berawal dari yang kecil, namun pemerintah harus bisa menyelesaikan masalah dari tahap yang kecil itu. "Dilakukan dari hal yang terkecil pasti Jakarta akan bersih dan tertata rapih," terangnya.

Sementara itu berdasarkan Instruksi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 56 Tahun 2011 tentang pengendalian arus mudik dan arus balik dalam rangka Idul Fitri 1432 H, seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah  (SKPD) dan Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) di lingkungan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta diinstruksikan untuk melakukan berbagai langkah antisipasi dan koordinasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

“Instruksi tersebut telah dilaksanakan dengan sosialisasi perarturan kependudukan yakni mengimbau kepada para pemudik untuk tidak mengajak keluarga ke Jakarta,“ ucap Kepala Dukcapil DKI Jakarta Purba Hutapea kepada okezone di Jakarta, baru-baru ini.

Namun kata Purba, berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, terlihat pengurangan dari pemudik yang kembali ke Jakarta dengan mengajak saudara, kenalan, atau tetangganya. “Pemantauan dari setiap stasiun, terminal, dan pelabuhan di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil monitoring penduduk Jakarta yang mudik pada H-7 sampai H-1 sejumlah 5.116.368 orang, jumlah itu tidak termasuk penduduk komuter yang berdomisili di kawasan Bodetabek,” tambahnya.

Menurut Purba, jumlah pendatang baru pascalebaran ke DKI Jakarta dalam kerangka urbanisasi menunjukan trend yang menurun dihitung pada tahun 2003 sebanyak 204.830 orang, tahun 2004 sebanyak 190.356 orang, tahun 2005 sebanyak 180.767 orang, tahun 2006 sebanyak 124.427 orang, tahun 2007 sebanyak 109.617 orang, tahun 2008 sebanyak 88.473 orang, tahun 2009 sebanyak 69.554 orang, dan pada 2010 tercatat 59.215 orang.

“Penduduk Jakarta yang telah kembali sampai H+4 sementara berjumlah 2.836.537 orang itu semua belum masuk secara lengkap, diperkirakan pada tahun 2011 akan berkurang sebesar kurang lebih 15 persen, sehingga pendatang baru diperkirakan sebanyak kurang lebih 50.000 orang,” ujarnya.

Penurunan pendatang baru, kata Purba, ke Jakarta dikarenakan sosialisasi peraturan kependudukan yang menunjukan keberhasilan kerjasama antarpemerintah provinsi se-Jawa, Bali, Lampung, NTB, dan NTT khususnya dalam bidang kependudukan, ketenagakerjaan, dan sosial.

“Banyaknya pusat-pusat pertumbuhan baru sebagai akibat pemerataan pembangunan oleh pemerintah pusat, semakin banyaknya aliran transfer dana dari pusat ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK),” tuturnya.

Untuk pengendalian mobilitas penduduk, lanjut Purba, tetap akan dilakukan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) yang direncanakan serentak di lima wilayah kota administrasi. “Pada tanggal 22 September 2011, 13 Oktober, dan 3 November 2011. Sasarannya terutama pada rumah kos, pemukiman padat sebagai kantong-kantong pendatang baru, daerah-daerah industri rumah tangga, dan apartemen,” tandasnya.
Jakarta bak Gadis Cantik yang Memikat
Awaludin
Sabtu, 17 September 2011 - 08:56 wib
BANYAK orang berbondong-bondong untuk mengadu nasib di Jakarta. Beribu alasan kenapa banyak orang yang datang ke Jakarta meski belum tentu apa yang dicita-citakan akan terwujud. 

Sampai saat ini, bagaimanapun Jakarta bak gadis cantik yang memikat banyak orang. Jakarta adalah ibu kota di mana hampir semua bidang pekerjaan akan Anda temukan. Silakan Anda menjadi polisi, dokter, guru, artis, PNS, pedagang, pegawai, sekuriti. Pilot juga ada atau berprofesi sebagai sopir angkutan umum sampai buruh bangunan.

Di sinilah tempatnya, Jakarta. Segala fasilitas tersedia. Bus kota, busway, angkutan Umum, bank, gedung-gedung tinggi, tempat wisata, taman hiburan, jalan tol, mal, hingga stasiun kereta api, dan stasiun televisi/radio. Di balik itu semua itu, tentunya banyak tantangan yang harus Anda hadapi di kota besar ini.

Soalnya, saat bercita-cita menjadi manajer perusahaan besar malah jadi kondektur.  Ingin jadi artis justru bernasib tragis menjadi korban penipuan perusahaan pencari bakat dan minat. Untuk bertahan hidup di kota yang keras ini, Anda harus mempunyai keterampilan lebih, seperti halnya yang diungkapkan Priyoko Cahyo Marcapada (30), warga Kampung Kasongan, Bantul, Yogyakarta.

“Jakarta itu keras. Di Jakarta itu semuanya ada. Ada yang baik, ada yang paling buruk. Kalau misalkan lulusan STM sangat berat untuk bersangin di sini. Jangankan yang STM, D3 dan S1 aja sulit untuk mengadu nasib di Jakarta. Kalau engga punya skill tambahan mendingan tidak usah kemari,” ucapnya kepada okezone di kediamannya di bilangan Jakarta Utara, baru-baru ini.

Priyoko menambahkan perekonomian di daerah dan di Jakarta pada dasarnya sama saja, namun di daerah tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai. “Sebenarnya perekonomian di Jakarta dan daerah itu sama aja. Cuma kalau kesannya ke Jakarta itu kan ibu kota, jadi hebat kalau sudah ke mari. Sama aja kayak di Yogyakarta pas mendekati Lebaran apa-apa mahal di sana,” imbuhnya.

Para warga pendatang, lanjut Priyoko, hanya mencari keadaan yang lebih baik dari sebelumnya di kampung halaman dan mayoritas mereka modal nekat. “Jujur saya datang ke Jakarta hanya modal nekat. Alhamdulillah saya punya skill di bidang elektro dan mempunyai teman di sini. Intinya saya nyari keadaan yang lebih baik. Mereka rata-rata ke Jakarta gambling atau untung-untungan. Tapi kalau belum tahu Jakarta, jangan dah nanti bisa stres,” ucap kepala pemasaran sebuah perusahaan elektro ini.

Senada diungkapkan Saifur Rohman (25). Laki-laki asal Desa Dukuh Seti, Pati, Jawa Tengah, ini tinggal bersama lima kawannya mengontrak di Jalan Raya Bandengan, Gang Lontar, Jembatan Tiga , Jakarta Utara. Mereka semuanya asli Jawa Tengah yang sama-sama mengadu nasib di Jakarta. "Menurut saya, Jakarta itu menyedihkan karena apa-apa serba susah untuk mencari makan sangat sulit. Kalau enggak pinter-pinter bergaul bisa belangsak,” ucapnya.

Saifur menuturkan, awalnya datang ke Jakarta karena dirinya tersandung masalah di kampung halamannya yang menyebabkan dia harus pergi meninggalkan keluargan. Namun Saifur mempunyai kerabat di Jakarta yang siap berjuang dan mengadu nasib bersama-sama. “Awalnya saya datang ke Jakarta, pertama menghindari masalah karena ada problem di kampung dan  ingin mencari pengalaman juga. Di samping itu, di kampung tidak ada fasilitas pekerjaan yang memadai. Selama tiga tahun saya juga belum dapat apa-apa, hanya bisa untuk bertahan hidup di sini,” ujar karyawan yang bergelut di bidang elektro dan otomotif.

Namun Saifur berharap dirinya bisa menemui keluarga besarnya di Pati, Jawa Tengah, jika sudah cukup mapan secara ekonomi di Ibu Kota. “Kalau sudah ketemu jalannya, saya juga akan balik kampung lagi,” tandasnya. Lain halnya yang diungkapkan Chendrawan Sutan Mentari (40), asal Padang, Kampung Balingka, Bukit Tinggi, Padang, Sumatera Barat. Menurutnya, tinggal di Jakarta sangatlah enak karena di sini tempatnya surga mencari sebongkah berlian dan sesuap nasi.

“Banyak pergaulan dan untuk mencari fasilitas kerja cukup tersedia walaupun kita mau kerja apa aja. Kalau misalkan kita kerja di kampung itu perkerjaan juga terbatas contohnya kayak petani, atau berternak,” ujarnya saat berbincang dengan okezone di Perkumpulan Surau Barerum, Padang Balingka di Karet Jakarta Pusat, baru-baru ini.

Kata Uda Ichen, sapaan akrabnya, walaupun warga pendatang yang di Jakarta tidak mempunyai keterampilan bisa juga mencari rezeki yang lain. Terpenting, kata dia, halal dan tidak mempunyai rasa malu. “Walaupun dia enggak punya skill juga dia mempunyai keberanian datang ke Jakarta karena enak untuk mencari duit, walaupun kita kerja apa aja juga enak. Nyari gelas Aqua aja bisa dijual asalkan kita enggak punya malu aja,”  tandasnya yang bekerja sebagai sopir sebuah perusahaan swasta.

 

Cerita Kaum Perantau di Ibu Kota (1)

Awaludin
Senin, 12 September 2011 - 11:57 wib
Rumah gubuk di sepanjang rel kereta api (Foto:Awal/okezone)
JAKARTA memang menyimpan harapan dan mimpi besar. Jakarta menyediakan segalanya, mulai dari yang biasa sampai luar biasa. Dari yang berdasi hingga hidup di pinggir kali atau rel kereta api yang tak sanggup makan nasi setiap hari. Dari yang tinggal di kawasan elite bergedung menjulang tinggi nan megah, sampai gubuk-gubuk sempit beratapkan langit di daerah kumuh.

Ketika itu, matahari sudah memancarkan sinarnya dari balik awan yang mulai memutih. Tampak segerombolan manusia yang dari tampangnya mulai menua, mendorong gerobak bersama beberapa bocah yang membawa gitar kecil dan botol bekas berisikan pasir.

Inilah kehidupan di pagi hari di wilayah Tanggul Tenaga Listrik RT 03 RW 16, tepatnya bantaran rel kereta api Tanah Abang-Serpong dan Tanah Abang Manggarai. Gubuk-gubuk ini dibuat seadanya dari kardus dan tripleks bekas. Satu sama lain saling menempel menghasilkan udara pengap dan lembab. Permukiman yang muncul awal pertengahan tahun 1990-an itu berdiri di atas tanah kosong, entah siapa yang punya. “Nah, itu bocahnya udah pada keluar,“ ucap Ubang, warga asli RT 03 RW 16 Tanah Abang.

Di saat bersamaan, okezone mencoba untuk bertanya kepada segerombolan anak kecil itu. Namun reaksi mereka terkaget dan memperlihatkan keengganan saat hendak diajak berbincang. Hanya bahasa tubuh yang mereka tunjukan yakni dengan menggelengkan kepala. “Dia pasti enggak mau ngomong bang,” tambahnya.

Menurut Ubang, segelintir anak memang kerap disewakan oleh orangtuanya kepada pengelola (sindikat) untuk dipekerjakan di ibu kota. “Bawa anak dari kampung disewa ama dia (sindikat). Orangtuanya sudah kenal ama sindikatnya penyewaan anak untuk dijadikan pengamen di sini,” tambahnya.

Kata Ubang, sindikat penyewaan anak memang kerap beroperasi di pemukiman padat penduduk. Namun untuk big bosnya bukan orang setempat. “Enggak mungkin enggak ada bos. Dan bosnya itu bukan orang sini. Dia (sindikat), rata-rata ngambil dari pinggiran rel sini, Tanah Abang,” ucap pria yang aktif di salah satu organisasi sosial di Jakarta ini.

Namun bukan hanya wilayah Tanah Abang, melainkan di daerah Senen banyak juga dijumpai pengamen, pengemis, dan lainnya. ”Di Senen juga ada di daerah Tripoli. Pengamen dan pengemis biasanya mangkal di pertigaan Senen. Itu juga ada yang ngerekrut. Kalau masuk ke sana harus ada kenalan juga, entar bisa masuk enggak bisa keluar lagi,” tandasnya sambil tertawa.

Di lain tempat, menurut Suparni (35), warga Bantaran Rel Velbak, Jalan H Awaluddin 4 Rw 17 Kelurahan Kebon Melati, Kecematan Tanah Abang, dirinya ke Jakarta karena mengikuti jejak orangtuanya. “Saya sudah 15 tahun di sini karena dulu diajak orangtua nyari rezeki di sini. Setelah ibu saya meninggal, saya jadinya menetap di sini. Ada enam keluarga saya yang tinggal di sini. Semuanya saudara dari bapak dan ibu juga ada di sini. Paling kalau ke kampung saya hanya nengokin kuburan emak di sana,” ucap wanita asli Surabaya itu.

Untuk biaya sehari-hari, lanjut Suparni, suaminya bekerja sebagai tukang ojek yang kadang kuli serabutan untuk menyekolahkan anak-anak dan biaya dapur sehari-hari. “Bapaknya kerja apa aja, serabutan. Kadang ngojek ama mulung. Kalau untuk listrik kita semua patungan,” tambah ibu tiga anak yang tinggal digubuk berukuran 3x4 meter.

Tinggal di pinggir rel kereta bukan tanpa risiko, karena bisa kapan saja terserempet kereta. Namun sirine kereta yang melintas seolah-olah hanya penanda bagi mereka mesti menyingkir sejenak dari atas rel. Penghuni gubuk ini memusatkan hampir seluruh aktivitas kesehariannya hanya satu-dua meter dari rel kereta. Mulai dari memasak, mencuci piring, memandikan anak, menjemur barang bekas,hingga bermain. ”Kita sudah tahu kapan kereta akan lewat, jadi enggak perlu takut juga,” tandas ibu yang berprofesi penjual makanan ringan itu.

Senada diungkapkan Sati (65). Keluarganya yang sudah tinggal cukup lama di pinggiran rel kereta api sering menerima peringatan untuk pindah. Pasalnya, pemerintah setempat berencana melakukan pembersihan di lokasi yang memang tidak dilarang untuk tempat tinggal.

"Cuman denger-denger mau dibongkar tanggal 31 Agustus, tapi sampai saat ini belum dibongkar juga. Kalau nanti dibongkar kita akan pindah dan membangun rumah yang bisa bongkar-pasang,” ucap Sati pasrah.

Dia beserta keluarga besarnya tidak akan meninggalkan Jakarta. Namun yang paling dirinya cemaskan adalah anak-anak yang tidak terima kalau rumahnya digusur. “Saya enggak akan pulang ke Surabaya karena di sana sudah tidak ada keluarga lagi. Kalau di sini mau ngapa-ngapain bisa menghasilkan duit. Saya sedih waktu mau dibongkar, keponakan saya pada nangis karena enggak terima. Mungkin sekarang udah pada gede jadinya ngerti,” terang Sati.

Mengenai modus penyewaan anak kepada sindikat untuk dijadikan pengemis atau pengamen, mereka kompak tutup mulut. Mereka sepertinya tidak ingin atau mungkin takut tindakan eksplotasi anak ini diketahui umum. Ya, itulah salah satu sisi kelam kaum perantau yang tinggal di Jakarta. Mereka hanya bisa bertahan hidup dengan kondisi serba sulit. Untuk pulang ke kampung halaman pun tak mungkin, karena sudah tak punya apa-apa lagi.